Berita perselingkuhan artis bisa meraup pendapatan miliaran rupiah - Ketika jagat infotainment diramaikan dengan berita-berita seputar selebritas yang kawin cerai, perselingkuhan, atau pertengkaran artis, masyarakat seolah ikut terhanyut.
Namun setelah ditelusuri, kebanyakan berita-berita semacam itu hanya rekayasa semata dari para selebritas yang punya kepentingan. Mereka sebetulnya telah menyusun skenario berita semacam itu. Tujuannya tidak lain untuk menaikkan pamor, promosi film, album lagu, atau mencuri sensasi supaya laku di panggung dan layar kaca.
Direktur Lembaga Studi Pers dan Pembangunan (LSPP) Ignatius Haryanto menilai, berita-berita rekayasa semacam itu merupakan pelanggaran etika jurnalistik.
"Ini sudah melakukan pembohongan terhadap publik. Ini pelanggaran berat etika. Berita rekayasa jelas melanggar kode etik," kata pria akrab dipanggil Hary ini ketika dihubungi merdeka.com, Jumat (11/10).
Menurut pakar pers nasional ini, masyarakat harus pandai-pandai memilah berita yang ingin mereka konsumsi. Selama ini berita-berita infotainment semacam itu banyak menabrak aturan-aturan dalam kode etik jurnalistik dan bahkan tidak layak disebut produk atau karya jurnalistik.
"Kalau jurnalistik kan harus jelas sumbernya, akurasinya, ada verifikasi dan lain-lain. Kalau infotainment kan tidak begitu," ujar Hary.
Meski tidak memenuhi kaidah dan melanggar kode etik jurnalistik, namun para pelaku di industri ini terus berproduksi demi alasan bisnis yang super menguntungkan.
Pihak infotainment, kata dia, jangan mengatasnamakan selera masyarakat untuk terus memproduksi tayangan-tayangan penuh gosip semacam itu. Infotainment jangan hanya beralasan demi sensasi, menaikkan rating atau jumlah klik untuk mengejar keuntungan.
"Ongkos produksi infotainment itu tidak sampai sepuluh juta untuk tayangan 30 menit, tapi iklannya bisa ratusan juta bahkan miliaran rupiah dalam 30 menit," ungkap Hary.
Menyikapi berita-berita rekaan pada tayangan infotainment itu, kata dia, masyarakat sebetulnya bisa melayangkan protes resmi ke Komisi Penyiaran Indonesia (KPI).
"Atau bisa juga menulis surat pembaca menyatakan penolakan terhadap tayangan semacam itu. Atau bahkan berhenti nonton, matikan televisi," tegas dia.
Meski terus mengecam keberadaan infotainment, Hary mengatakan sebetulnya infotainment bisa mulai membenahi diri untuk bisa menampilkan tayangan yang lebih berkualitas, tidak melanggar kode etik tapi tetap menarik.
Menurut dia masih banyak yang bisa digali di dunia hiburan, untuk disajikan ke hadapan penonton atau pembaca. Hary mencontohkan tentang aktor-aktor film Indonesia yang kini mulai merambah dunia perfilman Hollywood.
"Kan bisa diangkat bagaimana perjuangan mereka bisa masuk industri film Hollywood, bagaimana mereka bisa dilibatkan, kesulitan-kesulitan apa saja yang mereka hadapi. Kan bisa digali sisi-sisi itu," jelas dia.
Pada intinya, jika mau lebih kreatif, masih banyak sisi lain yang bisa digarap infotainment di dunia hiburan. Masyarakat kini sudah lebih cerdas dan butuh tayangan berkualitas.
[
sumber ]