-
- Lihat FotoTanpa Sinetron, Jaminan Masa Depan Cerah Program Televisi Lokal?
Bila kita melihat serial televisi asal luar, gampang sekali menemukan serial-serial televisi favorit. Kekuatan cerita, emosi yang terjalin, hingga pemilihan pemeran yang tepat membuat kita memiliki ikatan khusus dengan serial-serial tersebut. Bahkan sebagai penggemar kadang, atau sering, kita terlibat komunikasi khusus dengan sesama penggemar meskipun serial-serial bagus itu berakhir masa tayangnya.
Siapa yang tidak jatuh cinta dengan persahabatan Chandler, Joey, Monica, Ross, Phoebe, Rachel di “Friends”? Siapa yang menyukai kisah percintaan dan petulangan Carrie Bradshaw di “Sex and The City”? Siapa yang nggak pernah bosan nonton “The Simpsons” di DVD berulang-ulang?
Ada istilah “cult” bagi sebuah film (atau serial televisi). Istilah ini melekat bagi setiap tayangan yang memiliki penggemar khusus. Penggemar-penggemar yang mungkin hanya sedikit, namun menonton tayangan-tayangan itu ribuan kali. Dari pengalaman menonton ini, terbentuk sebuah komunitas yang terjalin erat. Membahas tayangan yang bersangkutan dari sudut pandang-sudut pandang baru, menjaga agar ‘spirit’ dari tayangan itu tetap ada. Kedengaran seperti fanatik? Memang, tapi tidak ekstrim.
Sebagian besar dari kita tentunya paham betul saat beberapa serial yang kami sebut di atas tadi kami sebut serial televisi (tayangan) yang bagus. Kami yakin sebagian besar dari kita tumbuh bersama serial-serial tadi. Pengalaman-pengalaman hidup kita kadang muncul di beberapa episode mereka. Ada ikatan batin yang tidak bisa kita jelaskan, yang menjadikan kita penonton setia.
Kami tidak bermaksud merendahkan produksi lokal, tapi nyatanya adalah tidak ada satupun serial televisi dalam waktu lima tahun terakhir yang membuat kita jadi penonton setia. Silakan jawab pertanyaan ini. Fimelova memiliki ikatan batin khusus dengan si penjual bubur itu? Atau rindu dengan si bidadari yang selalu melindungi? Atau masih ingin menonton serial di salah satu televisi swasta yang dipenuhi mahluk aneh, lagu dangdut, dan suara pemeran-pemerannya sering disulih-suara kan itu?
Jujur saja, kami rindu dengan serial dengan kualitas seperti “Si Doel Anak Sekolahan” atau “Losmen” atau “Keluarga Pak Rahmat.” Siapa yang lupa dengan kisah menghangatkan jiwa Euis dan kedua adiknya di “keluarga Cemara”? Atau petualangan "dr. Sartika" yang mengisahkan perjuangan seorang dokter perempuan idealis?
Kita butuh produksi-produksi seperti itu lagi. Kisah-kisah yang dekat dengan kita. Tidak dilebih-lebihkan. Dipresentasikan dengan bakat-bakat memukau. Tidak kelewat cantik, tapi juga masih enak dilihat di layar televisi. Kisah-kisah yang masih bisa kita tolerir dan dengan cepat membuat kita yakin dan mampu mengatakan bahwa ini adalah tayangan yang bagus. Sepertinya setelah “Si Doel Anak Sekolahan” yang digawangi oleh Rano Karno nggak ada lagi serial televisi yang sebagus itu.
Layar kaca kita sekarang dipenuhi oleh kekejaman Ibu tiri yang sering melewati batas dan kita takut itu akan menjadi contoh bagi para penontonnya. Serial yang tayang setiap hari dan pemerannya adalah anak-anak di bawah umur. Di luar negeri juga banyak serial yang diperankan oleh anak-anak, tapi tidak dengan jam tayang gila-gilaan yang menghabiskan waktu belajar dan waktu bermain mereka. Sinetron memang hasil industri hiburan lokal yang berbiaya produksi murah namun ternyata menghasilkan keuntungan berlimpah.
Celakanya, lembaga sensor mengizinkan sinetron-sinetron seperti itu tayang di televisi. Belum lagi tayangan-tayangan yang mengeksploitasi keimanan secara berlebihan dan cenderung berujung ceramah. Propaganda terselubung. Sekarang semua orang merasa berhak mengatur urusan keimanan orang lain?
Industri televisi nasional sepertinya sudah mati sejak tahun 1990an. Justru industri film nasional yang sekarang bangkit lagi. Bangkit dengan indah, dengan sekian banyak prestasi yang membanggakan. Harusnya industri televisi nasional terjangkit semangat ini. Tapi belum ada tanda-tanda kesana. Rasanya beruntung menjadi warga Jakarta yang baru bisa pulang ke rumah setelah pukul 9 malam. Karena kita tidak perlu menyaksikan televisi nasional yang penuh dengan sinetron. Thank God for cable TV? Tapi kapan kita akan peduli dengan produksi negeri sendiri?