Untuk Undangan Umum Di Sebelah Sana, Pak! - Hari Minggu kemarin, seorang kolega yang mempunyai jaringan bisnis di Jawa Timur, seorang petinggi salah satu partai mengadakan walimah urusy (resepsi pernikahan).
Banyak pejabat diundang, mulai dari gubenur, wakil gubernur, pengusaha, hingga para kiai besar. Wajah-wajah yang biasanya hanya bisa saya lihat di media.
Saat saya diarahkan ke tempat makan oleh panitia, seorang panitia lainnya mencegat saya dan berkata, “Mohon maaf, Bapak, hanya untuk undangan VIP.”
Terus terang saya tersinggung dan menoleh pada istri saya, “Emang undangan kita apa, Say?”
Istri saya pun menggeleng.
"Untuk undangan non VIP sebelah sana, Pak,” lanjut si petugas sambil menunjukkan arahnya dengan tangan.
Dongkol sekali saya. Kenapa sih harus dibeda-bedakan? Kenapa harus ada jenis undangan VIP dan ada jenis undangan umum? Apa karena saya bukan orang berpangkat? Apa karena saya bukan orang kaya? Atau karena pakaian yang kami kenakan terasa biasa-biasa saja?
Saya tiba-tiba teringat akan kisah Nashruddin, seorang sufi di Timur Tengah, yang saat itu datang ke sebuah pesta pernikahan. Dia mengenakan pakaian biasa layaknya rakyat jelata. Dan saat dia akan masuk tempat resepsi, dihadang oleh seorang penjaga. Melihat perilaku penjaga itu, Nashruddin pulang dan segera berganti pakaian yang paling mewah yang dia punya. Kemudian, berangkat lagi.
Setelah melihat Nashruddin yang berpakaian mewah, sang penjaga pun mengizinkannya masuk ruangan resepsi. Setelah Nashruddin berada di dalam, dia menghampiri tempat makanan dan mengambil makanan dengan tangannya. Bukannya untuk dimakannya, tapi dioleskan ke seluruh pakaiannya. Nashruddin kontan menjadi pusat perhatian hadirin.
Datanglah seseorang bertanya, “Kenapa kau lakukan hal itu?”
Nashruddin menjawab, “Karena pesta ini tidak mengundangku. Tapi mengundang bajuku!” Sesaat setelah mengatakan itu, Nashruddin enyah dari ruangan pesta. Meninggalkan orang-orang melongo di sana.
Apa yang bisa kita tarik dari kisah di atas? Praktik memilah-milah orang dari baju dan pangkat adalah sesuatu yang menyakitkan. Jika memang hendak mengundang ya sudah, jangan dibeda-bedakan seakan-akan ada yang penting dan ada yang tidak penting.
Yang diajarkan Islam lewat nabinya, baginda Muhammad SAW, semua umat Islam harus memperlakukan manusia itu sama di hadapannya. Tak lebih mulia seseorang karena dia lebih kaya, berpangkat, atau tinggi kastanya. Semua manusia di hadapan Allah SWT itu sama!
Maka barang siapa yang membeda-bedakan manusia lantaran derajat kekayaan dan pangkatnya, maka ia sudha menyalahi ajaran Islam. Islam adalah agama yang egaliter. Bilal, yang mantan budak pun memperoleh derajat yang tinggi dan namanya diabadikan sebagai laqab atau panggilan bagi mereka yang melakukan azan. Bangsa Turki Ustmani pun mulanya tak lebih dari sekadar tentara tingkat bawah yang kemudian menguasai kekhalifahan dalam teritorial Islam.
Bagaimana menurut Anda?
[
sumber ]