Fenomena Joko Widodo (Jokowi) Dan Kelanjutan Trah Bung Karno
- Fenomena Joko Widodo (Jokowi) dinilai tidak hanya mengubah
konfigurasi politik nasional tentang pencalonan presiden dan wakil
presiden di 2014, tetapi juga peta politik di internal Partai Demokrasi
Indonesia Perjuangan (PDIP). Skenario trah Bung Karno yang dipersiapkan
untuk Pilpres 2014 dan kepemimpinan partai ke depan sangat mungkin
bergeser.
Jokowi kini tidak hanya digadang-gadang menjadi capres 2014 oleh
sebagian kader, tetapi juga melanjutkan tongkat estafet kepemimpinan
Megawati Soekarnoputri di partai nasionalis tersebut. Alasannya gampang,
Jokowi sangat disukai publik sehingga bisa mendongkrak popularitas dan
elektabilitas partai.
Tak kalah penting, Jokowi dikenal memegang teguh ideologi Soekarnoisme.
Lihat saja program-program kerjanya di Jakarta yang pro-marhaen, seperti
pembangunan kampung deret dan rumah susun untuk rakyat kecil, serta
Kartu Jakarta Sehat dan Kartu Jakarta Pintar untuk kaum miskin kota.
Sejumlah politikus PDIP ketika ditanyakan soal pergeseran skenario itu
lebih banyak bungkam. Sebagian lain hanya ingin mengajak diskusi tanpa
mau dikutip, mengingat sangat sensitifnya persoalan pencapresan dan
kelanjutan trah Bung Karno.
Putri bungsu Megawati Soekarnoputri, Puan Maharani, membantah faktor
darah berpengaruh terhadap pencapresan 2014. Namun, sesuai keputusan
Kongres, siapa yang menjadi capres dari PDIP ditentukan oleh Megawati
sebagai Ketua Umum.
"Keputusannya nanti ada di ketua umum," ujar Puan di Gedung DPR kemarin.
Ketua Fraksi PDIP DPR ini juga membantah kepemimpinan PDIP ke depan juga harus ada dipegang oleh trah Bung Karno.
"Loh sekarang aja sekjen (Tjahjo Kumolo) bukan keluarga, anggota DPP
yang keluarga cuma saya aja, yang lain dari 25 orang yang lain bukan
keluarga semua," ujar anak Megawati dari almarhum Taufiq Kiemas ini.
Meski Puan membantah, sejumlah politikus PDIP mengakui trah Bung Karno
masih sangat berpengaruh dan dibutuhkan oleh partai. Wasekjen DPP PDIP
Hasto Kristiyanto mengatakan, pengaruh trah sang proklamator sudah
dibuktikan oleh sejarah.
"Sejarah PDI Perjuangan membuktikan, ketika masa sulit pun, pada saat
PDI berhadapan dengan pemerintah Orde Baru yang sangat otoriter,
konsolidasi yang dilakukan Megawati berangkat dari realitas betapa Bung
Karno masih ada di tengah rakyat," kata Hasto kepada merdeka.com, Kamis
(5/9).
Hasto tidak bisa membayangkan bagaimana konsolidasi partai saat itu tanpa adanya Megawati sebagai anak Bung Karno.
"Dalam situasional seperti saat itu, di mana terjadi kegelisahan di
seluruh aspek kehidupan, getaran terhadap kepemimpinan ala Bung Karno
justru semakin besar," ujarnya.
"Saya meyakini masih kuatnya emotional bonding rakyat terhadap ide, gagasan, dan perjuangan Bung Karno," imbuhnya.
Dengan demikian, lanjut Hasto, bagi sekalangan elite yang menempatkan
kepemimpinan hanya berdasar variabel elektabilitas semata, maka mereka
tidak menangkap getaran ikatan emosional tersebut.
"Karena itulah berbicara trah Soekarno, adalah bicara kesejarahan dan sosiologi politik, namun juga harapan," ujarnya.[ren]
[
sumber ]